Senin, 13 Desember 2010

Keistimewaan Yogyakarta : Jangan Ajari Orang Yogya Berdemokrasi



Kompas/Priyombodo
Aksi Warga Bantul di Gedung DPR - Sekitar 1500 warga Bantul, D.I. Yogyakarta yang tergabung dalam Bantul Bangkit mendatangi gedung DPR, Jakarta, Senin (28/4/2008). Mereka yang mengenakan pakaian adat jawa tersebut antara lain meminta pemerintah untuk mempercepat proses pembahasan RUU Keistimewaan DIY.

KOMPAS.com — Bukan orang Yogya, menetap tiga tahun (1946-1949) di Yogyakarta, beristri orang Yogya (Sri Sulastri), Daoed Joesoef (84) ikut risi dengan adanya wacana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. ”Yang istimewa itu daerahnya, bukan orangnya,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1982 itu, Kamis (9/12/2010).
Jadi jangan ajari orang Yogya berdemokrasi ibarat "ngajari" ikan berenang
Menurut dia, keistimewaan DIY itu terdiri atas tiga lapis. Lapis pertama, menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. ”Mereka melawan dengan cara mereka sendiri.” Lapis kedua, menerima kehadiran orang dan budaya China dan Arab, tetapi justru ”menjawakan” Arab dan China. Lapis ketiga, menerima pengaruh agama Hindu dan Buddha, tetapi kejawaan mereka tak larut.
Jadi sebaiknya penetapan atau pemilihan? ”Pemilihan kepala daerah kan hanya salah satu bentuk demokrasi. Masih ada bentuk lain. Piagam PBB membolehkan adanya auto determination. Jadi jangan ajari orang Yogya berdemokrasi ibarat ngajari ikan berenang.”
Menurut Daoed Joesoef, orang Aceh kelahiran Medan, orang Yogya pun tak akan mau kepala pemerintahannya berumur 80 tahun atau tidak becus. ”Mereka akan temukan sendiri kiatnya. Wacana keistimewaan Yogyakarta saat ini ibarat gunung es kerapuhan dasar pembentukan negara kita,” tegasnya. (STS)

Tidak ada komentar: