Kamis, 30 Desember 2010

Gus Dur Itu Jujur

 30/12/2010 08:35:04 “Biarkan dunia politik ribut, humor terus berlanjut?” Itulah prinsip KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) — tanggal 30 Desember 2010 ini genap 1 tahun meninggal — yang diwariskan kepada kita. Selain humor-humornya yang cerdas, ia pun meninggalkan warisan yang berharga: habitus kejujuran. Pertanyaannya, apakah yang menarik dari humor-humor Gus Dur? Sedemikian pentingkah habitus kejujuran dalam humor-humornya bagi kita? Dalam buku, Jagadnya Gus Dur (2010), Zainal Arifin Thoha (Gus Zainal) almarhum menyatakan, humor-humor Gus Dur pada dasarnya adalah serius. Dan kita pun yakin, kata Gus Zainal, bahwa Gus Dur adalah seorang presiden RI yang serius memikirkan nasib bangsa ini. Bukankah serius pun membutuhkan sikap yang santai? Dengan inilah mungkin, kepenatan dan kesumpekan bangsa yang terasa akhir-akhir ini akan segera teratasi. Menertawakan Diri Sendiri Dalam hal berhumor, Gus Dur tak jarang memulai dengan menertawakan dirinya sendiri. Misalnya, ketika ia bercerita bahwa semua presiden Indonesia punya penyakit gila. Presiden pertama (Bung Karno) gila wanita, presiden kedua (Pak Harto) gila harta, presiden ketiga (Pak Habibie) benar-benar gila ilmu, dan presiden keempat (Gus Dur sendiri) sering membuat orang gila karena yang memilihnya juga orang-orang gila. Begitulah, Gus Dur memang dikenal sebagai orang humoris. Humor selalu melekat dan menjadi ciri khas dirinya, di mana pun ia berada. Maka, kalau India pernah menganugerahi Gus Dur sebuah gelar bertitel “Doktor Honoris Causa” (Dr HC), mungkin tidak ada salahnya suatu saat dari perguruan tinggi kita menganugerahi dirinya gelar bertitel “Doktor Humoris Causa”. Ini semacam bentuk pengakuan kita atas kecerdasan Gus Dur dalam mengolah humor. Menurut Prof Dr James Danandjaya (1999), humor adalah salah satu bentuk folklor lisan para santri di pondok pesantren. Melalui folklor lisan itu, lanjut ahli folklor dari UI itu, para santri dapat menyalurkan perasaan suka-duka, kejemuan, kejenuhan, kejengkelan, ketidakpuasan, protes, dan rasa birahi mereka. Terlebih Gus Dur sendiri adalah santri sekaligus mantan santri (kiai). Sehingga wajar jika Gus Dur rutin melontarkan humor-humornya ke publik. Jauh sebelum menjadi presiden RI, Gus Dur adalah aktivis politik yang paling rajin melontarkan humor guna menyindir penguasa. Humor-humornya merupakan sebuah adaptasi dari cerita serupa di negeri lain, khususnya negara-negara komunis Eropa Timur. Humor-humor made in Eropa Timur sarat dengan kondisi ketertindasan rakyat oleh penguasa yang otoriter dan bertangan besi, mirip situasi Indonesia di bawah cengkeraman rezim Orde Baru ala Pak Harto. Terkait Pak Harto, Gus Dur juga menjadikan mantan presiden RI kelahiran Godean itu sebagai objek humornya. Suatu kali, cerita Gus Dur, Pak Harto terhanyut di sungai dan nyaris meninggal. Seorang petani menolongnya dengan ikhlas. Si petani yang lugu tidak tahu siapa sebenarnya yang dia tolong itu. “Saya ini presiden. Presiden Soeharto. Kamu telah menyelamatkan saya. Imbalan apa yang kamu minta?” kata Soeharto pada petani lugu itu. “Pak, saya hanya minta satu hal,” jawab petani. “Apa?” tanya Pak Harto penasaran. “Jangan beritahu siapa pun bahwa saya yang menolong Bapak”. Menyimak cerita tersebut, rasanya kita makin yakin bahwa kelucuan Gus Dur memang gawan bayi, bawaan sejak bayi. Karena itu wajar jika sebagian orang merasa jengkel karena melihat Gus Dur tak pernah serius, sering mbanyol. Padahal, dengan mbanyol itu ia sejatinya serius atau berpikir. Habitus Kejujuran Lewat humor-humornya, Gus Dur selalu menyampaikan pesan agar kita berani jujur pada diri sendiri. Setidaknya, ia mengajak agar kita berani mengolok-olok kekurangan diri yang mungkin tidak terkuak. Inilah nilai keunggulan humor atau guyon yang selain bertujuan ketawa, ia juga menjadi alat menyampaikan pesan. Seperti fungsi bahasa yang dijabarkan oleh Brown dan Yule (1983), pesan dalam humor Gus Dur mencakup fungsi personal dan fungsi instrumental. Dalam fungsi personal, humor didayagunakan oleh Gus Dur guna melontarkan kritik, ejekan, sindiran, dan bela sungkawa terhadap objek humornya. Sementara itu, dalam fungsi instrumental, humor diciptakan oleh Gus Dur untuk mengajak, memerintah, menolak, dan menyetujui hal-hal yang berkaitan erat dengan objek humornya. Dengan begitu, melalui humornya Gus Dur tengah mempromosikan habitus kejujuran, terutama bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, demi kelangsungan hidup bangsa, kini saatnya bagi siapa pun yang masih mencintai Republik untuk tetap melanjutkan perjuangan Gus Dur dalam menumbuhkan habitus kejujuran, termasuk memunculkan diskursus wacana humor-humor kritis nan cerdas. Bagaimana pun kita perlu sadari, Gus Dur itu telah jujur dan teguh memegang prinsipnya, berhumor itu adalah berkata jujur dan berkata jujur itu adalah berintegritas. Bukan begitu, Gus? q - g. *) Sudaryanto SPd, Mahasiswa Magister Linguistik Terapan Program Pascasarjana UNY.

Tidak ada komentar: