KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga yang tergabung dalam Relawan Referendum Ngayogyakarto Hadiningrat mensosialisasikan diri di Halaman Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Minggu (12/12/2010). Keberadaan para relawan ini adalah sebagai reaksi dari dukungan mereka terhadap penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DI Yogyakarta. YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Ribuan masyarakat Yogyakarta berkumpul di depan kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta mengikuti sidang paripurna yang membahas keistimewaan Yogyakarta. Tak sedikit masyarakat Yogyakarta yang mengenakan busana tradisional Jawa. Ada juga yang datang membawa kemenyan.
Massa yang datang bukan hanya dari Kota Yogyakarta, melainkan juga dari luar kota. Yang datang pun bukan hanya orang Yogya. Ada juga perwakilan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Mereka datang dengan pakaian khas tradisional mereka. Mereka menyuarakan dukungannya melalui tarian khas NTT.
Untuk menjaga arus massa, puluhan polisi gabungan berjaga di perempatan Kantor Pos Besar. Jumlah tersebut belum termasuk polisi yang berjaga di sepanjang Jalan Malioboro.
Arus lalu lintas mulai padat, tersendat oleh massa pendukung keistimewaan. Pengguna jalan tidak sabar untuk melintasi perempatan Kantor Pos Besar.
Suara klakson berbunyi berulang kali, tanda meminta jalan. Orator yang menaiki mobil pikap dengan nomor polisi AB 9563 E berseru, "Penetapan harga mati, kalau Presiden tidak menanggapi, Yogya ingin merdeka."
Orator juga menekankan larangan bertindak anarkis. "Kita harus membuktikan, masyarakat Yogyakarta cinta damai," katanya.
Di depan lima polisi, laki-laki berpakaian Jawa, lengkap dengan belangkon, surjan, dan jarik, meneriakkan aspirasinya. "Pak polisi, Yogya merdeka, Pak."
Polisi yang bertugas hanya tersenyum menanggapi teriakannya. "Teriakan itu hanya emosi, Sultan saja tidak mengatakan merdeka," ujar petugas yang tidak bersedia menyebutkan namanya.
Massa yang datang bukan hanya dari Kota Yogyakarta, melainkan juga dari luar kota. Yang datang pun bukan hanya orang Yogya. Ada juga perwakilan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Mereka datang dengan pakaian khas tradisional mereka. Mereka menyuarakan dukungannya melalui tarian khas NTT.
Untuk menjaga arus massa, puluhan polisi gabungan berjaga di perempatan Kantor Pos Besar. Jumlah tersebut belum termasuk polisi yang berjaga di sepanjang Jalan Malioboro.
Arus lalu lintas mulai padat, tersendat oleh massa pendukung keistimewaan. Pengguna jalan tidak sabar untuk melintasi perempatan Kantor Pos Besar.
Suara klakson berbunyi berulang kali, tanda meminta jalan. Orator yang menaiki mobil pikap dengan nomor polisi AB 9563 E berseru, "Penetapan harga mati, kalau Presiden tidak menanggapi, Yogya ingin merdeka."
Orator juga menekankan larangan bertindak anarkis. "Kita harus membuktikan, masyarakat Yogyakarta cinta damai," katanya.
Di depan lima polisi, laki-laki berpakaian Jawa, lengkap dengan belangkon, surjan, dan jarik, meneriakkan aspirasinya. "Pak polisi, Yogya merdeka, Pak."
Polisi yang bertugas hanya tersenyum menanggapi teriakannya. "Teriakan itu hanya emosi, Sultan saja tidak mengatakan merdeka," ujar petugas yang tidak bersedia menyebutkan namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar