Jakarta, Kompas
”Saya mempertanyakan kebijakan tersebut. Banyak yang sesungguhnya bisa dimaksimalkan untuk meningkatkan sumber dana dari sektor pajak. Intinya, kewajiban pajak memang harus dilakukan, tetapi haruslah dipilah-pilah dan diprioritaskan. Warteg janganlah dikenai pajak,” kata Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan, Jumat di Jakarta Pusat, menanggapi rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenakan pajak restoran kepada warung makan kecil. Bahkan, rencana ini dinilai dapat menghambat semangat berwirausaha rakyat kecil.
Menurut Syarifuddin, kebijakan pengenaan pajak restoran pada warung makan kecil sangat memprihatinkan karena muncul di tengah usaha pemerintah pusat untuk mendorong munculnya banyak wirausaha baru. Semua warga negara Indonesia didorong untuk membuka usaha mandiri dalam semua bidang, termasuk dalam perdagangan makanan seperti warteg.
Jika usaha kecil yang sedang tumbuh langsung dikenai pajak, dan menjadi sulit berkembang, warga akan enggan untuk membangun usaha mandiri.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meminta Dinas Pelayanan Pajak melakukan kajian ulang sebelum menerapkan pajak restoran pada warung makan kecil. Penilaian detail atas omzet usaha yang dapat dikenai pajak restoran diperlukan sebelum pajak itu diterapkan secara massal di seluruh Jakarta.
”Saya sudah minta penilaian rinci atas batasan omzet yang akan dikenai pajak dan dampaknya bagi usaha kecil sejak awal pekan ini, tetapi belum mendapat laporan. Semua keputusan yang berdampak besar ke masyarakat harus melalui kajian mendalam dan rinci,” kata Fauzi Bowo.
Menurut Fauzi, dirinya tidak akan mengeluarkan keputusan yang memberatkan kehidupan rakyat kecil. Oleh karena itu, kajian yang detail harus dilakukan sebelum dibuat keputusan untuk menjalankannya atau tidak.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak Iwan Setiawandi mengatakan, pajak restoran akan dikenakan kepada warteg dan warung makan kecil yang memiliki omzet Rp 60 juta per tahun atau sekitar Rp 167.000 per hari. Perluasan pajak restoran dan batasan omzet Rp 60 juta per tahun sudah disepakati oleh DPRD dan akan menjadi peraturan daerah (perda) pajak restoran.
Perluasan pajak restoran diperlukan untuk menambah pendapatan daerah guna membangun Jakarta. Perluasan obyek pajak restoran diperkirakan dapat menambah pemasukan sekitar Rp 50 miliar per tahun
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana mengatakan, DPRD DKI sudah menerima banyak keluhan mengenai rencana Pemprov DKI mengenakan pajak restoran pada warung makan kecil. Pengenaan pajak restoran akan membuat pembeli di warung makan kecil berkurang.
Jika warung makan kecil sampai bangkrut karena ditinggalkan pembeli, dampak ekonomi dan sosial bagi Jakarta terlalu besar. Jumlah warteg di Jakarta mencapai 20.000 unit.
Jika setiap warteg mempekerjakan empat orang, ada 80.000 orang akan kehilangan pekerjaan atau pendapatannya turun. Jumlah itu belum termasuk pekerja di sejumlah warung padang, warung sunda, warung mi instan, warung bubur kacang hijau, dan beraneka warung makan lain.
Selain itu, perdagangan bahan makanan juga akan terganggu karena penyerapan oleh puluhan ribu warung makan tiba-tiba berkurang drastis.
DPRD meminta Pemprov DKI mengkaji ulang besaran omzet yang menjadi batas pengenaan pajak. Batasan omzet Rp 60 juta per tahun dinilai akan membuat semua warung makan kecil dapat dikenai pajak.
”Ada pengurus asosiasi warteg yang mengusulkan batas omzet dinaikkan menjadi Rp 500.000 per hari atau Rp 180 juta per tahun. Namun, batasan omzet harus dikaji secara ilmiah agar tidak terlalu besar dan membuat obyek pajak yang sudah dikenai pajak restoran justru lepas dari kewajiban membayar pajak,” kata Triwisaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar