Sabtu, 25 Desember 2010
Pajak Warteg, Penjajahan Baru,Miskinkan Rakyat
JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Gerindra, Permadi, berpendapat, kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang akan menarik pajak 10 persen dari warung tegal (warteg) dan sejenisnya yang beromzet Rp 167.000 per hari adalah bentuk penjajahan terhadap rakyat sendiri.
Dengan kebijakan baru itu, kata dia, Pemprov ibarat memungut upeti dari rakyat kecil sementara "orang-orang besar" bebas dari pajak. Yang dimaksud Permadi dengan "orang-orang besar" adalah para wajib pajak kelas kakap yang melakukan aneka tipu daya demi menghindar pungutan pajak.
"Kita diadu domba terus. Padahal yang sesungguhnya, pemerintah kita mau mem-VOC-kan Indonesia. Yang besar, bebas, yang kecil ditarik upeti. Sedapat mungkin orang-orang besar itu bebas pajak," ujarnya dalam sebuah diskusi yang digelar Petisi 28, di Jakarta, Minggu (5/12/2010).
Menurutnya, sejak dulu Pemprov sudah banyak memungut uang dari rakyat kecil, seperti pengelola warteg secara tidak formal. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur pajak warteg, penarikan upeti dari rakyat kecil tersebut, kata Permadi, kemudian di-formalkan. "Tadinya tidak formal, sekarang formal, pajak warteg formal, dilegalisir," ungkapnya.
Kebijakan Pemprov yang dinilainya tidak berpihak pada rakyat kecil tersebut, lanjutnya, akan mengundang rakyat untuk revolusi atau melakukan perlawanan. "Coba kalau warteg sampai tidak jualan di seluruh Jakarta, berapa banyak orang yang kelaparan," katanya dengan nada bicara meninggi.
Penolakan senada diutarakan Sekjen Asosiasi Pembayaran Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinagoro dalam kesempatan yang sama. Menurutnya, tidak pantas jika Pemprov mengejar pajak dari rakyat kecil sementara pengusaha-pengusaha besar banyak yang menunggak pembayaran pajak.
Kebijakan Pemprov tersebut, katanya, harus ditolak bersama-sama. "Tapi penolakannya jangan ribut-ribut untuk di-blow up sehingga bisa mereduksi kasus yang lebih besar seperti kasus Gayus," tukasnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar