Minggu, 28 November 2010

Seni(man) dan Bencana


29/11/2010 06:44:24 KETIKA terjadi bencana dan banyak warga yang mengungsi, sejumlah seniman tergerak hatinya untuk menghibur mereka sebagai wujud kepedulian terhadap sesama. Ternyata banyak pengungsi yang merasa terhibur. Pada titik ini, seni sebagai produk budaya ternyata tetap mampu menghibur manusia yang sedang dirundung duka. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang memiliki alam lingkungan rawan bencana, jajaran seniman layak untuk selalu bersikap tanggap darurat. Artinya, sebagai pelaku seni dituntut untuk selalu responsif dan ramah lingkungan. Idiom seni untuk seni rasanya tidak relevan lagi bagi bangsa kita. Rasanya tidak etis jika seniman hanya bersedia menampilkan karya seninya di tempat-tempat pesta sebagai pelengkap suka cita pada saat banyak orang menderita. Sebaliknya idiom seni untuk manusia layak dipopulerkan karena sangat relevan. Artinya, seni dan seniman layak bersikap responsif dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri di ranah seni agar tidak dituduh sebagai kaum hedonis. Pada praktiknya, sejak dulu banyak seniman hanya bersedia berkarya di lingkungan tertentu yang dianggapnya cukup bergengsi dan karenanya bisa menguntungkannya dan mendapat predikat seniman elitis. Misalnya, sejak dulu kita mengenal penari keraton yang tidak pernah bersedia menari di luar keraton. Seniman yang elitis biasanya akan memilih istirahat ketika situasi sedang berkabung. Padahal, jika mereka bersikap tanggap darurat dan responsif tentu bisa tetap berkesenian untuk menghibur masyarakat di luar keraton. Pasti masyarakat yang sedang berduka akan terhibur jika bisa menikmati tarian-tarian yang biasanya disajikan di dalam keraton. Karena itu, sikap elitis seniman layak digugat manakala situasi dan kondisi di sekitarnya sedang berduka dan layak dihibur dengan kesenian. Justru seniman dan kesenian akan lebih berarti manakala hadir di barak-barak pengungsian yang notabene sedang berduka. Konkretnya, seni dan seniman elitis layak disayangkan manakala tidak hadir menghibur sesama yang sedang dirundung bencana. Dengan kata lain, sikap elitis kalangan seniman tidak layak dipertahankan pada saat banyak sesama terpuruk di barak-barak pengungsian. Antisosial? Stigma antisosial yang melekat pada diri kaum seniman layak dihapus, ketika bencana terjadi di banyak tempat. Konkretnya, kaum seniman yang telah menikmati kemakmuran tidak sepantasnya menutup pintu dan mengurung diri di rumah mewahnya ketika banyak orang sedang dirundung bencana. Sebab, kesenian apa pun tanpa masyarakat tidak akan ada artinya. Jika kaum seniman bisa hidup sejahtera, pasti karena keseniannya diapresiasi oleh masyarakat. Karena itu, sudah sepantasnya jika masyarakat sedang bersedih maka seniman bersedia datang untuk menghibur dengan tulus ikhlas. Sejak dulu, hubungan antara kesenian dan sosial sulit dipisahkan. Bahkan, bagi jenis-jenis kesenian tertentu seperti musik, kerumunan massa yang notabene disebut sosial dapat dianggap sebagai pengasuh setia yang membesarkannya. Dengan kata lain, masyarakat ibarat ibu yang membesarkan seni dan seniman maka sudah selayaknya jika sang ibu sedang berduka maka seniman bersedia menghibur dengan keseniannya. Dalam konteks hubungan seni dan sosial, apresiasi timbal balik menjadi sangat penting. Artinya, pada saat normal masyarakatlah yang memberikan apresiasi kepada seni dan seniman. Tapi jika dalam keadaan tidak normal seperti sadang dirundung bencana, senimanlah yang harus mengapresiasi masyarakat dengan kesenian. Karena itu, ketika seniman bersedia datang menghibur kaum pengungsi berkaitan dengan meletusnya Gunung Merapi, layak dicatat sebagai balas budi terhadap apresiasi yang telah lama dinikmatinya. Pada titik ini, ada interaksi sosial budaya yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan kaum seniman. Pendek kata, ketika bencana sedang merundung, seniman layak datang membantu masyarakat dengan menampilkan keseniannya untuk menghibur, agar masih ada keceriaan-keceriaan dalam duka, agar hidup tetap berjalan seimbang dan indah. q - c *) Pemerhati dan Peneliti Kebudayaan di Global Spectrum Institute, Purwodadi Jawa Tengah.

Tidak ada komentar: