06/01/2011 08:16:10 MENGHIDUPKAN kembali Purna Budaya yang sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri merupakan kerinduan terhadap poros Bulaksumur, Malioboro dan Gampingan. Dari tiga wilayah ini para seniman melakukan kehidupan, melahirkan ide dan karya kreatif sesuai bidangnya, dari sastra, teater, seni rupa, musik dan kesenian lainnya. Di sini terjadi proses kreatif antara para akademisi, rakyat dan seniman, sehingga banyak seniman dibesarkan di 3 kawasan ini dan menjadi pelaku budaya. Demikian benang merah yang bisa ditarik dari dialog kebudayaan dalam upaya menghidupkan kembali Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri yang dulu sangat populer dengan sebutan Purna Budaya. Dialog kebudayaan yang menghadirkan narasumber Prof Ainun Na’im, Prof Basu Swasta Dharmmestha (UGM) dan Agus Burhan (ISI) dipandu Yuswantoro Adi di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Senin (3/1) malam merupakan rangkaian dari Orasi Budaya Ehma Ainun Nadjib, Kyai Kanjeng dan pameran seni rupa amal ‘Yogya Memang Istimewa’. Dikatakan oleh Prof Basu, yang dia tahu memang tempat ini (dulu Purna Budaya) dimanfaatkan untuk berbagai pertunjukan kesenian dari Srimulat, teater termasuk Bengkel Teater Rendra, wayang orang, kesenian rakyat, pameran seni rupa, foto dan eksibisi lainnya. “Purna Budaya tempat berseminya poduk budaya di antaranya kesenian,” ujar Prof Basu. Poros Bulaksumur, Malioboro, Gampingan menurut Agus Burhan merupakan informasi konotatif tentang proses kebudayaan di Yogyakarta. Dari poros ini menunjukkan adanya ideologi yang sama, sehingga terjadilah interaksi di antara para seniman dan akademisi yang tertarik dengan kesenian, sehingga lahirlah Umar Kayam, Ashadi Siregar, Emha Ainun Nadjib dan banyak lagi. Dikatakan oleh Wakil Rektor Senior UGM Prof Ainun Na’im, sejak berdiri UGM memiliki komitmen untuk mengembangkan nilai-nilai ke-UGM-an dengan visi kerakyatan, kebangsaan dan kebudayaan. Misi kebudayaan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan secara non formal dan formal melalui pusat-pusat studi yang jumlahnya masih terbatas. Menjawab pertanyaan mengapa kampus UGM sebagai kampus kerakyatan sekarang sulit dijangkau? Menurut Prof Ainun Na’im semangat kampus UGM tetap tiga hal itu, dekat dengan rakyat. Kalau kemudian ada masalah lalu lintas dan parkir itu sekadar untuk memberi jaminan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. “Kalau itu memberatkan akan ditinjau lagi,” ujarnya. (Asp)-g |
Rabu, 05 Januari 2011
MENGHIDUPKAN PUSAT KEBUDAYAAN ; Kerinduan Poros Bulaksumur, Malioboro, Gampingan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar