Dari depan sebuah pusat perbelanjaan di sudut paling ramai Jakarta, arca perempuan itu memandang ke arah jalan yang disebut menggunakan namanya. Ribuan anak muda melewatinya setiap hari, tahukah mereka siapa dia?
Ini cerita 70 tahun yang lalu. Perempuan itu, HR Rasuna Said, masih berusia 21 tahun dan dalam usia semuda itu dia berorasi di depan ribuan orang, meneriakkan kemerdekaan. Sebuah kegiatan yang dapat membuatnya diganjar penjara oleh pemerintah Belanda.
“Pintu menuju kemerdekaan sudah terbuka, dan kami berharap kalian mengabarkannya kepada seluruh kawan dan kenalan. Kami semua punya satu tujuan. Memperjuangkan hak kami, yakni membentuk Indonesia yang merdeka dan bebas dari jajahan asing,” kata Rasuna dalam sebuah aksi menentang penjajahan. Ketegasan Rasuna harus dibayar mahal. Bersama rekannya, Rasimah Ismail, dia ditangkap dan dipenjarakan di Semarang.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah sosok pendidik, wartawan dan politisi ulung. Dia lahir dari keluarga keturunan bangsawan Minang di Maninjau, Sumatera Barat pada 14 September 1910.
Pendidikan Rasuna kecil dimulai di pesantren Ar Rasyidiyah sebagai satu-satunya murid perempuan. Saat kelas 5, dia mulai mengajar untuk anak-anak dari kelas lebih rendah. Berpindah-pindah guru, Rasuna terus belajar, juga belajar teknik pidato. Pidato Rasuna dikenal “laksana petir di siang hari”.
Rasuna masih berusia 16 tahun saat bergabung di organisasi politik pertamanya, Sarekat Rakyat — sebuah organisasi yang juga dimotori Tan Malaka. Dia juga tak melupakan gairah pertamanya: mengajar.
Rasuna mendirikan sekolah “Menjesal” di Sumatera Barat, sekolah kelas rendah di Padang dan sekolah khusus putri di Bukittinggi. Para murid di sekolahnya diajarkan pentingnya kesadaran politik rakyat.
Dari Sarekat Rakyat, Rasuna berpindah ke Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), yang tumbuh dengan cepat di Sumatera Barat dengan 10 ribu anggota di 160 cabang. Partai ini populer karena tak takut mengawinkan politik dan agama. Rasuna menjadi salah satu tokoh perempuan paling menonjol di sini. Secara blak-blakan dia mengajak rakyat menuju perjuangan Indonesia merdeka.
Rasuna juga menemukan minat baru — menjadi wartawan — dan menerbitkan majalah Menara Putri. Gaya penulisannya blak-blakan dengan semboyan “Ini dadaku, mana dadamu.”
Majalah ini menyebarkan ide mengenai perempuan dan segala permasalahannya. Dia meyakinkan pembaca, perempuan punya peran yang sama dalam penjuangan kemerdekaan. Perempuan juga punya hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan, jaminan ekonomi dan memiliki tempat dalam dunia politik.
Karier politik membawa Rasuna hijrah ke Jakarta. Setelah proklamasi kemerdekaan, Rasuna menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera Barat. Dia juga anggota Dewan Pertimbangan Agung yang memberikan saran pada Presiden Soekarno.
Rasuna Said meninggal pada 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata.
Dia dikenang sebagai aktivis perempuan pertama yang memperjuangkan hak-hak politik perempuan. Menurutnya, politik bukan hanya milik laki-laki. Politik tak bisa dipisahkan dari peran serta perempuan.
Dari 140 orang yang diberi gelar pahlawan negara, hanya 10 perempuan yang ada dalam daftar. Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah satunya. Siapa akan teruskan perjuangannya?
Ini cerita 70 tahun yang lalu. Perempuan itu, HR Rasuna Said, masih berusia 21 tahun dan dalam usia semuda itu dia berorasi di depan ribuan orang, meneriakkan kemerdekaan. Sebuah kegiatan yang dapat membuatnya diganjar penjara oleh pemerintah Belanda.
“Pintu menuju kemerdekaan sudah terbuka, dan kami berharap kalian mengabarkannya kepada seluruh kawan dan kenalan. Kami semua punya satu tujuan. Memperjuangkan hak kami, yakni membentuk Indonesia yang merdeka dan bebas dari jajahan asing,” kata Rasuna dalam sebuah aksi menentang penjajahan. Ketegasan Rasuna harus dibayar mahal. Bersama rekannya, Rasimah Ismail, dia ditangkap dan dipenjarakan di Semarang.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah sosok pendidik, wartawan dan politisi ulung. Dia lahir dari keluarga keturunan bangsawan Minang di Maninjau, Sumatera Barat pada 14 September 1910.
Pendidikan Rasuna kecil dimulai di pesantren Ar Rasyidiyah sebagai satu-satunya murid perempuan. Saat kelas 5, dia mulai mengajar untuk anak-anak dari kelas lebih rendah. Berpindah-pindah guru, Rasuna terus belajar, juga belajar teknik pidato. Pidato Rasuna dikenal “laksana petir di siang hari”.
Rasuna masih berusia 16 tahun saat bergabung di organisasi politik pertamanya, Sarekat Rakyat — sebuah organisasi yang juga dimotori Tan Malaka. Dia juga tak melupakan gairah pertamanya: mengajar.
Rasuna mendirikan sekolah “Menjesal” di Sumatera Barat, sekolah kelas rendah di Padang dan sekolah khusus putri di Bukittinggi. Para murid di sekolahnya diajarkan pentingnya kesadaran politik rakyat.
Dari Sarekat Rakyat, Rasuna berpindah ke Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), yang tumbuh dengan cepat di Sumatera Barat dengan 10 ribu anggota di 160 cabang. Partai ini populer karena tak takut mengawinkan politik dan agama. Rasuna menjadi salah satu tokoh perempuan paling menonjol di sini. Secara blak-blakan dia mengajak rakyat menuju perjuangan Indonesia merdeka.
Rasuna juga menemukan minat baru — menjadi wartawan — dan menerbitkan majalah Menara Putri. Gaya penulisannya blak-blakan dengan semboyan “Ini dadaku, mana dadamu.”
Majalah ini menyebarkan ide mengenai perempuan dan segala permasalahannya. Dia meyakinkan pembaca, perempuan punya peran yang sama dalam penjuangan kemerdekaan. Perempuan juga punya hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan, jaminan ekonomi dan memiliki tempat dalam dunia politik.
Karier politik membawa Rasuna hijrah ke Jakarta. Setelah proklamasi kemerdekaan, Rasuna menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera Barat. Dia juga anggota Dewan Pertimbangan Agung yang memberikan saran pada Presiden Soekarno.
Rasuna Said meninggal pada 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata.
Dia dikenang sebagai aktivis perempuan pertama yang memperjuangkan hak-hak politik perempuan. Menurutnya, politik bukan hanya milik laki-laki. Politik tak bisa dipisahkan dari peran serta perempuan.
Dari 140 orang yang diberi gelar pahlawan negara, hanya 10 perempuan yang ada dalam daftar. Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah satunya. Siapa akan teruskan perjuangannya?